Survey

INILAH SURVEI KEPERAWANAN di YOGYAKARTA

Sungguh mencengangkan mengetahui kehidupan seks mahasiswi di
kota pelajar Yogyakarta. Suatu penelitian yang dilakukan oleh
Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis
dan Humaniora (LSCK PUSBIH) menunjukkan hampir 97,05 persen
mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang keperawanannya saat kuliah.
Penelitian ini dipaparkan dalam jumpa pers Kamis (1/8/2002).
Berikut naskah komplet hasil penelitian yang disebarkan pada wartawan:

Bismillahirrahmanirrahim
97 Persen Mahasiswi Di Yogyakarta, Sudah Kehilangan "Virginitas (Keperawanan)"

Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis
dan Humaniora
I. TUJUAN PENELITIAN
A. Konteks Penelitian
Penelitian ini dilakukan utnuk mengetahui sejauh mana kerusakan
dan dekadensi moral yang sudah terjadi di tengah-tengah generasi
muda kita, khususnya pada jenjang usia (data interval) antara 17
tahun - 23 tahun atau sering diistilahkan sebagai usia rata-rata
mahasiswa kita dalam menuntut ilmu di jenjang perguruan tinggi.
Mengapa ini sangat perlu dilakukan? Kami memiliki beberapa alasan:
Penetrasi pornografi yang meningkat pesat melalui jaringan
penyewaan VCD porno (model semi-triple), buku dan majalah porno
lokal maupun impor dan masih banyak lagi.
Maraknya aksi seks di kost-kostan yang hampir merata di seluruh
wilayah pemukiman mahasiswa yang ada di Jogjakarta.
Meningkatnya tingkat aborsi, khususnya di region Jawa Tengah
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini yang dilakukan oleh
kelompok usia sasaran penelitian.
Meningkatnya kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh
mahasiswi-mahasiswi, dalam berbagai tingkatan status dari
penjaja seks sosial, penjaja seks suka sama suka hingga yang
murni komersial.
Meningkatnya tingkat peredaran narkoba sebagai fasilitas
pendukung untuk dapat menikmati seks lebih maksimal.
Meningkatnya kegiatan kumpul kebo, terlembaga atau pun tidak.
Atas dasar alasan-alasan inilah kami terpanggil untuk melakukan
penelitian ini, agar dapat ditemukan berbagai treatment,
formulasi serta langkah-langkah antisipatif untuk merespon
perubahan yang sangat cepat ini.

B. Fokus Penelitian
Adapun kami memfokuskan penelitian ini kepada komunitas
mahasiswi yang tersebar di seluruh institusi perguruan tinggi di
Jogjakarta. Pemilihan kelompok sasaran perjenis kelamin ini
adalah karena pada umumnya secara psikologis mereka dapat lebih
jujur dalam memberikan data yang kami butuhkan. Selain itu
kegiatan seks penuh (intercourse sex) harus dilakukan berpartner
sehingga dari sana secara langsung dapat diketahui seberapa
banyak pelaku kegiatan seks di luar nikah itu dari kelompok
sasaran lawan jenisnya yang bisa jadi dalam deret hitung atau
bahkan deret kali.
Sedangkan untuk wilayah, kami memilih Jogjakarta karena secara
geografis sebaran lokasi perguruan tinggi tidak terlalu
menyulitkan untuk dapat dicapai dalam waktu cepat selain kendala
finansial yang memang dialami oleh banyak peneliti, khususnya
para peneliti sosial.

II.STUDI PENDAHULUAN
Untuk mendukung akurasi dan tingkat keilmiahan penelitian kami
ini, kami membuat kerangka kerja dalam penelitian kami ini yang meliputi:
Metode yang digunakan
Jenis metode yang digunakan adalah Metode Penelitian Deskriptif
Survei, meliputi :
Pendekatan menurut teknik sampling.
Pendekatan menurut timbulnya variable.
Pendekatan menurut pola-pola atau sifat non-eksperimen.
Pendekatan menurut model pengembangan atau model pertumbuhan.
Sumber data
Kami membuat beberapa kuisioner tertutup dan lebih spesifik
melalui wawancara, sehingga sumber data kami dapat disebut
sebagai: responden (orang yang menjawab pertanyaan peneliti,
lisan atau pun tulisan)
Teknik analisis data
Untuk menghindari terjadinya garbage in garbage out (data yang
kita olah tidak jelas, akan menghasilkan sesuatu yagn tidak
jelas) maka kami menggunakan teknik analisis yang digunakan oleh
Denzin dan Lincoln, 1994:429 yang meliputi: koleksi data;
display data; reduksi data dan kesimpulan
penggambaran/vertifikasi.
Jadwal dan waktu pelaksanaan
Penelitian, analisis dan evaluasi akhir kami lakukan mulai dari
tanggal 16 Juli 1999 hingga tanggal 16 Juli 2002 atau sekitar 3
(tiga) tahun. Mengapa terlalu lama, karena kami menetapkan
standar yang tinggi untuk setiap data yang kami kumpulkan serta
jumlah responden yang cukup mewakili. Selain itu, untuk setiap
responden dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk dapat
mengeluarkan statement jujur.

III. RUMUSAN MASALAH
A. Deskripsi Informasi
Pada paruh tahun 1999, kami membaca di salah satu surat kabar
bahwa hampir 50% mahasiswa di Yogyakarta pernah melakukan
kegiatan sexintercourse. Statemen ini tentunya ibarat gunung es
karena ternyata kalau kita lihat terus ke belakang, ternyata
angka peningkatannya bukan lagi deret hitung tapi deret kali.
Dan data-data ini signifikan.
Lebih jauh karena fungsi Yogyakarta sendiri sebagai kota
pendidikan sehingga ketika muncul temuan seperti ini maka banyak
sekali hal-hal yang harus kita kaji ulang. Sebagai contoh dengan
kegiatan visit-tourism, di satu sisi itu adalah devisa namun
pernahkah kita memperhitungkan penetrasi budaya yang ditularkan
dari wisatawan manca tadi kepada penduduk lokal yang ternyata
jika kita mau mengkajinya lebih jernih bahwa kerugian kita
akibat erosi moral ini ke depannya akan jauh lebih mahal
ketimbang jumlah orientasi materi yang dapat kita raih. Dan
semuanya adalah ongkos sosial yang sangat mahal untuk ditebus
oleh anak cucu kita.

A. Deskripsi Penemuan
Terlalu banyak temuan yang sangat memilukan, yang kami temukan
selama kegiatan penelitian ini berlangsung. Secara keseluruhan
kami melibatkan 2.000 responden yang berasal dari 16 institusi
perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Yogyakarta. Dari angka
tersebut, kami berhasil mendapatkan responden yang bersedia
untuk menjadi pemasok data sejumlah 1.660 orang responden atau
sekitar 83% dari target awal.
Kemudian kami menetapkan angka 1.660 responden inilah sebagai
keseluruhan data yang akan dianalisis. Berbagai temuan yang
terkadang terlihat lucu tapi terasa sangat pedih itu, dan
setidaknya perlu kami masukkan dalam tulisan report ini sebagai
bahan perenungan kita bersama diantaranya :
Hampir semua responden pernah melakukan kegiatan seks, baik itu
yang sifatnya self service maupun berpartner.
Kegiatan aborsi berbahaya dan berisiko tinggi yang dilakukan
hampir oleh seluruh mereka yang mendapat kehamilah di luar
nikah. Salah satu contoh dengan menelan obat flu dan ragi dalam
jumlah besar.
Tidak ditemukan tindakan pemaksaan dalam kegiatan seks tadi,
atau semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka.
Rata-rata sudah pernah melakukan tindakan seks hingga tingkat
petting, oral seks dan anal seks.
25% dari total responden (415) bahkan sudah melakukannya dengan
lebih dari satu partner.

C. Analisis Data
Total Responden: 1660 orang
Data nominal (discrete)
Teknis : Cluster Random
Analisis :
Hanya ditemukan 3 orang saja responden yang mengaku sama sekali
belum pernah melakukan kegiatan seks, termasuk juga kegiatan
seks self service (masturbasi). Jadi hanya terdapat angka 0,18%
responden yang sama sekali belum pernah melakukan kegiatan seks
tadi. Ke-3 responden tadi juga mengaku sama sekali belum pernah
mengakses tontonan maupun bacaan erotis.
Hanya ditemukan 46 orang yang belum pernah melakukan kegiatan
seks berpartner di bawah level petting sex. Jadi sekitar 2,77%
saja. Total dengan responden sebelumnya, jumlah responden yang
belum pernah melakukan kegiatan seks berpartner : 2,77% + 0,18%
= 2,95% saja. Jadi 97,05% mahasiswi di Yogyakarta pernah

melakukan kegiatan sexintercourse pranikah atau 97,05% mahasiswi
di Yogyakarta sudah kehilangan kegadisannya dalam proses studinya.
100% dari 97,05% data responden itu mengakui kehilangan
keperawanannya (virginitas) dalam periodisasi waktu kuliahnya.
73% menggunakan metode coitus interupt sedangkan selebihnya
menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas.
63% responden melakukan kegiatan seks di kos-kosan partner seks
prianya. 14% responden mengaku melakukan kegiatan seks di
kos-kosan atau kontrakan yang disewanya. 21% mengaku melakukan
kegiatan seks di hotel kelas melati. 2% responden melakukan
kegiatan seks di tempat-tempat wisata yang terbuka.
Dari 1660 responden, 23 orang diantaranya mengaku telah
melakukan kegiatan kumpul kebo atau tinggal serumah tanpa ikatan
pernikahan selama lebih dari 2 tahun (1,386%). 5 orang (0,3%)
diantaranya mengaku mendapatkan izin dari orangtua si responden.
2 orang diantaranya (0,12%) bahkan tinggal seatap dengan
orangtua dari salah satu pihak, dan kegiatan seksnya diketahui
oleh orangtua tanpa treatment pernikahan.
1.417 responden (85,36%) mengakui tidak punya aktivitas lain
selain kuliah.
98 responden (5,90%) mengaku pernah melakukan aborsi.
23 responden (1,38%) dari 98 responden itu mengaku pernah
melakukan aborsi lebih dari satu kali.
12 responden (0,72%) dari 98 responden itu mengaku pernah
melakukan aborsi lebih dari dua kali.

D. Hipotesis
99,82% mahasiswi di Yogyakarta sudah mengenal seks dan pernah
melakukan kegiatan yang mengarah ke sana.
97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah kehilangan virginitas
melalui kegiatan intercourse-seks.

D.Hipotesis:
Dengan kemajuan teknologi informasi yang luar biasa dan tatanan
dunia global, seks telah menjadi kebutuhan pokok pada usia yang
sangat dini. Keterangan : Usia dini di sini bukanlah kematangan
organ seks, tapi kematangan psikis untuk menghadapi risiko dan
konsekuensi akibat kegiatan seks tadi.
Sistem pendidikan kita telah gagal mencerdaskan moral anak bangsa.

IV. KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan:
97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan.
Virginitas/ keperawanan bukanlah sesuatu yang sangat penting
lagi pada saat ini.
Paradigma budaya kita sudah bergeser jauh.
Rambu-rambu agama sudah ditinggalkan.
Bangsa kita sedang mengalami proses erosi moral yang luar biasa
menakutkan. Dengan kualitas generasi muda ang bobrok seperti
ini, dapat dibayangkan betapa mengerikannya masa depan kita 20
tahun ke depan.
Saran dan Rekomendasi:
Harus sesegera mungkin dibuat Perda tentang pengelolaan
pemukiman komersial.
Standar paradigmatik usia menikah harus mulai diturunkan untuk
mengantisipasi kegiatan seks di luar nikah.
Peraturan yang melarang seorang pelajar menikah harus direvisi.
Peraturan, persyaratan dan biaya pernikahan yang ditetapkan oleh
pemerintah harus diturunkan.
Departemen Agama harus mengkaji untuk menginstitusikan lembaga
nikah siri.

Penelitian Keperawanan Yang Mencemaskan
Medan, 14/3 (www.antarasumut.com).- Hasil penelitian tentang kondisi para siswi seperti yang diungkapkan Dekan Fakultas Biologi Universitas Medan Area (UMA), Ir.E. Harso Kardhinata MSc dalam seminar Pendidikan Seks (sex education) baru-baru ini, benar-benar mengejutkan, yang dipercaya akan menyebabkan para orang tua mengusap dada. Penelitian dalam tahun 2001 menunjukkan, sekitar 23 persen siswi tingkat SLTP dan SLTA di Medan, Binjai dan Langkat, tidak perawan. Dalam tahun 2009 ini diperkirakan siswa yang tak perawan di tiga daerah tersebut mencapai 60 persen.
Dalam seminar itu juga dibeberkan hasil survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang kondisi siswi SLTP dan SLTA di Indonesia yang diumumkkan baru-baru ini. Hasilnya ternyata malah mengejutkan. Sebanyak 63 persen siswi ternyata tidak perawan atau sudah pernah melakukan hubungan intim. Dari jumlah tersebut, 21 persen di antaranya pernah melakukan aborsi (pengguguran kandungan). Hubungan seks sebelum nikah di kalangan siswi cukup tinggi. Pada tahun 2005-2006 jumlah siswi yang tak perawan masih sekitar 47,54 persen. Tapi dalam kurun waktu 2 tahun kemudian meningkat 15,46sen. Dari lokasi survei menunjukkan, kota Medan sebagai salah satu kota besar penyumbang angka yang tinggi itu.
Hasil penelitian yang disiarkan media massa secara luas, mengundang segerbong kegalauan bagi orang tua yang mengetahui anak gadisnya sering keluyuran seusai sekolah. Kontrol orang tua terhadap anak gadisnya tidak dapat dilakukan secara ketat, terlebih-lebih keluarga yang suami isteri masing-masing mengais rezeki baik sebagai pegawai, wiraswasta dan sebagainya. Rumah tangga hanya dijadikan sebagai tempat berteduh. Bahkan ada yang mengatakan, lebih baik menjaga lembu sekandang dari pada mengawasi seorang anak gadis.
Selain itu ajaran agama kurang melekat, karena ibadah seperti sholat, puasa, menghadiri majelis taklim di mesjid, mau pun kegiatan pengajian lainnya hanya untuk orang-orang tua yang sudah “bau tanah” atau siap-siap di usung ke liang kubur. Masa remaja adalah masa ceria atau katakanlah hura-hura, yang kalau ekonomi mendukung dapat hidup dalam dunia gemerlap (dugem). Untuk ikut menikmati dugem, ada sponsor yang membiayainya dengan suatu “tegen prestasi” atau ada imbal baliknya.
Memang tidak semua gadis remaja bersikap sama, karena lebih banyak yang memegang teguh ajaran agama, sehingga tidak terbawa rendong dengan godaan yang menggiurkan. Merupakan tugas orang tua di rumah tangga, terutama kaum ibu, yang tidak membiarkan anaknya lepas kendali dengan macam-macam permintaan. Keluarga-keluarga yang kondisi perekonomiannya yang pas-pasan, harus sungguh-sungguh menanamkan rasa percaya diri pada anak gadisnya, sehingga tidak terjebak pada hal-hal yang negatif yang dapat merusak citra keluarga.
Menyusutnya keimanan pada kalangan remaja ini boleh jadi sebagai warisan dari pemerintahan Orde Baru, yang haram dikritik dan bertindak otoriter. Ketika DR. Daoed Joesoef diangkat Presiden Soeharto menjadi Mendikbud, diberlakukan peraturan wajib sekolah pada bulan puasa. Keputusan ini pada dasarnya mewajibkan generasi muda Indonesia memburu ilmu dengan mengenyampingkan iman. Pelajar puteri dilarang keras memakai jilbab ke sekolah dan siapa yang membandel dikeluarkan dari sekolah.
Media massa tidak berani mengkritik keputusan yang terasa miring itu. Maklum pemerintahan ketika itu dikuasai militer, birokrat dan Golkar, yang masa itu tidak disebut sebagai partai politik. Keputusan tersebut menyebabkan banyak anak sekolah yang tidak mampu berpuasa, terutama yang mendapat giliran masuk siang atau sore hari, bahkan kadang-kadang gurunya pun mengantuk. Padahal bulan Ramadhan, sebagaimana yang diajarkan para ulama merupakan bulan penuh pengampunan dan peluang untuk menumpuk pahala. Tapi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, justru diabaikan. Setelah berpuluh tahun kemudian, sekarang ini baru dirasakan hasil dari keputusan yang terasa miring itu. (R01/MOS)

Pendidikan Gagal Membangun Bangsa yang Berdisiplin
Ditulis dalam kategori pendidikan pada 10 2nd, 2007 | belum ada tanggapan
Masalahnya adalah, jika pendidikan kita dapat didefinisikan sebagai sebuah proses memaknai seluruh pengalaman hidup kita,pendidikan di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini didekati secara sempit, formalistik, terlalu berorientasi pasokan sebagai sebuah sektor di antara sektor-sektor lainnya. Pendidikan juga bukan arus utama pembangunan, terutama sebagai upaya memberantas kemiskinan. Bahkan melalui kebijakan Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan siswa, pendidikan telah direduksi menjadi teaching for the test, dan sekolah menjadi sekedar lembaga bimbingan belajar.
Di samping itu, kebijakan pendidikan yang sudah mendorong desentralisasi –melalui kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), misalnya- masih juga dalam praksisnya masih sentralistik, terutama melalui kebijakan Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan siswa.. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional gagal menyadarkan para guru untuk mengakrabkan murid dengan lingkungannya sendiri dan kreatif menyediakan solusi-solusi bagi beragam persoalan kehidupan mereka. Sebagai negara agraris, harus dikatakan, bahwa pembangunan pertanian kita saja tidak menunjukkan kinerja yang membanggakan, apatah lagi kinerja pembangunan kelautannya. Pendek kata, pendidikan kita gagal mengantarkan kita untuk memiliki kompetensi teknikal, dan sosial yang diperlukan untuk mengubah sumberdaya alam yang melimpah itu menjadi sumber kemakmuran dan kemajuan. Kita mengalami disorientasi dengan terlalu menekankan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif-akademik (IQ) yang sempit, namun kurang memperhatikan jenis kecerdasan lainnya (menurut Howard Gardner ada delapan kecerdasan di luar kecerdasan linguistik dan matematik), termasuk soft-competence –seperti disiplin- yang justru dalam banyak hal jauh lebih menentukan keberhasilan kita sebagai individu maupun bangsa.
Sekolah dan kampus gagal mengembangkan kemandirian kita sebagai agen-agen perubahan (change agents) yang mengambil sikap kritis pada proses-proses pembangunan, namun seringkali justru menjadi benteng kemapanan, dan mereduksi diri menjadi sekedar diploma mills (pabrik ijazah). Dalam tugasnya sebagai pelahir agen perubahan, sekolah seharusnya menjadi tempat di mana kesadaran dan kepekaan terhadap waktu ditumbuhkembangkan. Budaya ”jam karet” yang masih melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia menunjukkan kegagalan tugas ini. Kampus juga menjadi contoh yang buruk dalam manajemen waktu : prosentase mahasiswa yang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu (8 semester/ 4 tahun) cukup rendah (lihat Tabel 1). Kegagalan pendidikan kita telah menyebabkan sektor pertanian dan kelautan kekurangan para enterpreneur –sebagai agen perubahan- dan kekurangan tenaga kerja dengan wawasan dan kompetensi yang memadai sehingga kedua sektor inipun kurang berkembang, dan kurang terurus, terlebih sektor kelautannya.
Kita sering dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa keterbelakangan kita merupakan akibat dari sistem yang brengsek, ketiadaan leadership atau moral kita yang buruk. Beberapa sosiolog terkemuka mengatakan bangsa kita ini termasuk bangsa dan negara yang lembek (soft nation and state). Dalam rangka mengikhtiarkan perbaikan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah kompetisi global saat ini Saya setuju dengan pendapat ini, namun saya akan memfokuskan diri pada satu persoalan dasar bangsa ini : ketidakpekaan (insensitivity) dan ketidakdisiplinan (indiscipline) kita terhadap waktu.
Gagasan pokok orasi ini adalah bahwa Transformasi Indonesia 2050 akan menjadi kenyataan dan bangsa ini keluar dari keterpurukan dan bangkit menuju kemajuan hanya dengan satu jalan : membangun kepekaan dan disiplin waktu baru yang sehat.
Tabel 1. Prosentase mahasiswa yang selesai tepat waktu
TA 2006-2007
Universitas Indonesia ITS Surabaya Universitas Hasanudin
Prosentase lulus tepat waktu 51% 44% 21,42%
Banyak mahasiswa (dari PTN terutama) yang tidak menyadari implikasi keterlambatan mereka menyelesaikan kuliah mereka. Di samping desain program yang lebih lama dibanding dengan program sejenis di negeri-negeri maju (pendidikan sarjana /bachelor di Inggris dan di Malaysia umumnya 6 semester), keterlambatan mahasiswa Indonesia menyelesaikan kuliah menyebabkan pemborosan yang luar biasa besar pada sektor ketenagakerjaan Indonesia. Umur pemegang gekar doktor Indonesia umumnya 5 tahun lebih tua, dan profesornya 10 tahun lebih tua daripada rekan-rekannya di negeri-negeri maju.
Penelusuran atas kurikulum pendidikan nasional akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pendidikan kita, sejak pendidikan dasar, tidak membangun kemampuan menggagas, meremehkan pendidikan sejarah, dan tidak memberikan pengalaman temporal dan spatial yang memadai untuk menumbuhkan kepekaan waktu pada anak didik. Pendidikan bahasa dan budaya membaca yang baik sebagai strategi meningkatkan kemampuan menggagas siswa terbengkalai. Jika pengalaman temporal dapat diberikan melalui pendidikan seni, terutama musik, dan pengalaman spatial/temporal melalui pendidikan olah raga, maka akan kita temukan bahwa porsi pendidikan matematika dan sains mendominasi kurikulum pendidikan dasar kita. Sementara pendidikan seni, termasuk musik, dan olah raga mengalami marjinalisasi luar biasa, dan hanya memperoleh porsi kurang dari 20%. Pendidikan nasional, terutama pendidikan dasar, Indonesia boleh dikatakan telah menderita ”kegilaan sains”, dan ”mati seni dan olah raga”, walaupun masih juga gagal membangun budaya sains. Pendidikan sejarah juga mengalami peminggiran secara sistematik. (lihat Laporan Kompas, Gambar 2).
Berbeda dengan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini, pendidikan dasar di Barat yang maju justru memberikan perhatian pada pendidikan matematika, sains, bahasa,.


Gambar 2. Laporan Kompas Tentang Marginalisasi Pendidikan Sejarah
sejarah, musik dan olahraga secara lebih seimbang. Tidak terjadi pengagung-agungan berlebihan pada sains dan matematika seperti terjadi di Indonesia. Spesialisasi (pendidikan keahlian) baru dilakukan pada pendidikan menengah, dan dipertajam di perguruan tinggi. Ini berarti, pendidikan dasar di Barat telah berhasil membangun kemampuan menggagas yang kuat, dan memberi pengalaman temporal dan spasial yang sehat untuk memahami waktu dan kemudian menghargainya
Kamis, 15 Februari 2007 @ 01:29:00

42,3% SISWA CIANJUR BERHUBUNGAN SEKS PRANIKAH

^^^ Meskipun Cianjur (Jawa Barat) dikenal sebagai kota Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah) ternyata hasil survei Annisa Fondation baru-baru ini menunjukkan lebih dari 40 persen pelajar perempuan di kota santri itu telah melakukan hubungan seks pra-nikah.


Dalam siaran pers Annisa Foundation, sebuah lembaga independent yang bergerak di bidang kemanusian dan kesejahteraan gender belum lama ini disebutkan sebanyak 42,3 persen pelajar di Cianjur sudah hilang keperawanannya saat duduk di bangku sekolah.

Yang lebih mengenaskan, diantara responden mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan atau atas dasar suka sama suka dan adanya kebutuhan.

Selain itu, ada beberapa responden mengaku melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu pasangan dan tidak bersifat komersil.

Direktur Annisa Foundation, Laila Sukmadevi, dalam siaran pers itu mengatakan, penelitian itu dilakukan selama 6 bulan mulai Juli hingga Desember 2006 lalu, dengan melibatkan sekitar 412 responden yang berasal dari 13 sekolah menengah pertama (SMP) dan umum (SMU) baik negeri maupun swasta di Cianjur dan Cipanas.

Disebutkan Laila, berdasarkan hasil survey tersebut, total responden yang belum pernah melakukan kegiatan seks berpasangan hanya 18,3 persen.

Sementara lebih dari 60 persen telah melakukan kegiatan seks berpasangan, dan dari jumlah itu 12 persen menggunakan metode coitus interuptus dan selebihnya menggunakan alat kontrasepsi yang dijual bebas di pasaran.

Masih menurut Laila kecenderungan pelajar Cianjur untuk berhubungan seks pra-nikah tersebut bukan dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi karena hanya sekitar 9 persen mereka yang beralasan berhubungan seks dengan alasan ekonomi.

Selebihnya mereka beralasan karena tuntutan pergaulan dan longgarnya kontrol orang tua mengenai praktek hubungan seks di luar nikah.

Yang paling memprihatinkan mereka yang terlibat kegiatan hubungan di luar nikah itu bukan berarti karena tidak mengerti atau tidak paham nilai-nilai agama atau budi pekerti, sebab hampir 90 persen dari mereka mengaku bahwa praktek hubungan seksual di luar nikah tersebut merupakan perbuatan dosa yang seharusnya dihindari oleh siapa saja,.

Ditemui terpisah Direktur Sarinah Institute Cianjur, Susilawati SH, mengungkapkan, kasus pelajar yang berhubungan seksual di luar nikah sebenarnya tidak hanya terjadi di Cianjur karena dari beberapa penelitian yang dilakukan sejumlah lembaga independent terungkap bahwa seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa memang sudah sangat memprihatinkan.

Menurut dia untuk mengeliminir kasus seperti itu tidak bisa dilakukan hanya menggunakan pendekatan konvensional seperti pendidikan agama dan budi pekerti, namun yang penting remaja yang tengah masuk pada usia dewasa awal sudah sepantasnya diberikan pendidikan seksual yang memadai dan memberikan suasana lingkungan pendidikan yang tidak mengundang mereka pada kehidupan seks bebas.

"Tingginya angka prilaku seks pra-nikah di kalangan pelajar Cianjur bisa menjadi bukti bahwa pendekatan dalam memberikan bimbingan moral yang selama ini dilakukan para orang tua di Cianjur sudah mengalami pergeseran," ujarnya.


Bagaimana di Jakarta:
ANDA kepingin tahu tingkah remaja masa kini? Meski ini tidak mewakili seluruh remaja, namun bisa kita jadikan bahan renungan. Ternyata lima dari seratus pelajar setingkat SMA di Jakarta telah melakukan hubungan seks sebelum menikah.


Pola pacaran yang dilakukan antara lain mulai berciuman bibir, meraba-raba dada, menggesekkan alat kelamin (petting) hingga berhubungan seks. Perilaku seks pranikah itu pun erat kaitannya dengan penggunaan narkoba di kalangan para remaja. Tujuh dari 100 pelajar SMA pernah memakai narkoba.

Hal itu dikemukakan oleh Rita Damayanti saat menyampaikan hasil penelitiannya untuk meraih gelar doktor pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), di Depok, Jawa Barat baru-baru ini.

Dia meneliti 8.941 pelajar dari 119 SMA dan yang sederajat di Jakarta.

Menurutnya, perilaku seks pranikah itu cenderung dilakukan karena pengaruh teman sebaya yang negatif. Apalagi bila remaja itu bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang kurang sensitif terhadap remaja. Selain itu, lingkungan negatif juga akan membentuk remaja yang tidak punya proteksi terhadap perilaku orang-orang di sekelilingnya.

Bahkan, remaja yang merasa bebas dan tidak terkekang, ternyata lebih mudah jatuh pada perilaku antara, yaitu merokok dan alkohol. Ujung-ujungnya dari perilaku antara itu, pelajar akan berperilaku negatif seperti mengonsumsi narkoba dan melakukan seks pranikah.

Untuk menangani masalah tersebut, Rita menyarankan sekolah agar memberikan informasi yang intensif kepada siswanya tentang kesehatan reproduksi. Selain itu, kegiatan yang dilakukan remaja harus terus dipantau dan dibimbing orangtua. Remaja yang bertanggung jawab dan paham dengan tujuan hidupnya, juga bisa tergelincir pada pertemanan negatif.

"Back to basic, cintai anak-anak, beri perhatian yang cukup, dan penuhi kebutuhan psikologisnya. Pola asuh yang positif akan membentuk anak-anak menjadi lebih tangguh," ucapnya.

Dalam penelitiannya, Damayanti menyebutkan berpacaran sebagai proses perkembangan kepribadian seorang remaja karena ketertarikan antarlawan jenis. Namun, dalam perkembangan budaya justru cenderung permisif terhadap gaya pacaran remaja. Akibatnya, para remaja cenderung melakukan hubungan seks pranikah.

Berdasarkan penelitiannya, perilaku remaja laki-laki dan perempuan hingga cium bibir masih sama. Akan tetapi, perilaku laki-laki menjadi lebih agresif dibandingkan remaja perempuan mulai dari tingkatan meraba dada. Seks pranikah yang dilakukan remaja laki-laki pun dua kali lebih banyak dibandingkan remaja perempuan.

Perilaku pacaran remaja SLTA di Jakarta:
Perilaku pola pacaran ---- Perempuan ---- Laki-Laki ---- Total
.............................................. (%) ................ ...... (%) .... .......... (%)
Ngobrol, Curhat ------------ 97,1 --------- 94,5 .....----- 95,7
Pegangan tangan -- ------- 70,5 -..----- 65,8 ........--- 67,9
Berangkulan ........ 49,8 .... 48,3 .... 49,0
Berpelukan ........ 37,3 .... 38,6 ..... 38,0
Berciuman pipi ........ 43,2 .... 38,1 .... 40,4
Berciuman bibir ........ 27,0 .... 31,8 .... 20,5
Meraba-raba dada ...... 5,8 ..... 20,3 .... 13,5
Meraba alat kelamin ...... 3,1 ..... 10,9 ... 7,2
Menggesek kelamin ........ 2,2 ... 6,5 .... 4,5
Melakukan seks oral ....... 1,8 .... 4,5 .... 3,3
Hubungan seks ........ 1,8 ... 4,3 ..... 3,2

** Hasil Penelitian Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rita Damayanti

Perilaku bergeser:
Menurut Siswanto A Wilopo, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), saat ini telah terjadi pergeseran perilaku seksual di kalangan remaja. Tetapi karena ketidaktahuan mereka banyak pula tindakan yang mereka ambil membuat paramedis maupun orang tua terkejut.

Surya, staf Seksi Evaluasi Direktorat Kesehatan Reproduksi Remaja BKKBN juga mengatakan, dari data yang dihimpunnya banyak kaum remaja putri maupun putra mengalami infeksi di alat reproduksinya, bahkan menyebabkan kematian.

''Permasalahan utama kesehatan reproduksi remaja (KRR) di Indonesia, kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi, masalah pergeseran perilaku seksual remaja, pelayanan kesehatan yang buruk serta perundang-undangan yang tidak mendukung,'' ujar Surya..

Menurut data Kesehatan Reproduksi yang dihimpun Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN, 2002), jelas Surya, informasi KRR secara benar dan bertanggung jawab masih sangat kurang. Pemberian informasi tentang KRR di beberapa tempat masih dipertentangkan, apalagi jika diberi judul pendidikan seksual.

''Masih terdapat anggapan, pendidikan seksual justru akan merangsang remaja melakukan hubungan seksual. Selain itu sebagian besar orang tua yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hal ini, tidak memiliki kemampuan menerangkan serta tidak memiliki informasi memadai.''

Padahal, lanjutnya, survei yang dilakukan WHO (organisasi kesehatan dunia) di beberapa negara memperlihatkan, adanya informasi yang baik dan benar, dapat menurunkan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja.

Masalah yang dialami remaja tersebut sebetulnya tidak semata akibat pergeseran budaya atau pengaruh pergaulan. Kemajuan dalam perbaikan gizi di Indonesia juga ternyata menjadi pemicu pergeseran perilaku seksual di kalangan remaja.

Kasubdit Kesehatan Reproduksi Remaja BKKBN A Djabbar Lukman yang ditemui Media di ruang kerjanya mengakui peningkatan gizi saat ini mengakibatkan hormon seorang anak menjadi lebih cepat matang. Akibatnya seorang remaja putri akan lebih cepat mengalami menstruasi dan kematangan organ-organ reproduksi. Ini juga yang menyebabkan hasrat seksual mulai timbul pada usia relatif muda.

''Selain hormon, pengaruh lingkungan juga menjadi salah satu penyebab timbulnya pergeseran perilaku remaja. Globalisasi menyebabkan aksesibilitas remaja terhadap pornografi menjadi lebih mudah. Ribuan situs porno di internet serta media-media lain, seperti tabloid porno, komik hentai (komik porno Jepang) yang bertebaran di sekeliling remaja menjadi salah satu stimulan pergeseran perilaku para remaja saat ini,'' tutur Djabbar.

Untuk itu, hingga saat ini pihaknya masih berusaha meng-counter serangan informasi bertubi-tubi. Salah satunya dengan menerbitkan buku mengenai kesehatan reproduksi remaja, menyampaikan berbagai informasi, salah satunya dengan meluncurkan alat ajar mengenai remaja dan berbagai permasalahannya termasuk kesehatan reproduksi dan narkoba. (kcm/heru)

Ini penelitian super ngawur. Kurang kerjaan, bias gender, dan berangkat dari pemikiran yang sesat, semisal Keperawanan=Moralitas.
Mari kita kupas satu satu kesimpulannya

• 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan.

Dari mana peneliti tahu hal ini? Angket? Wawancara? Untuk memastikan bahwa responden tidak perawan, peneliti harus melakukan pemeriksaan fisik, oleh dokter. Kalau cuma wawancara atau angket, pasti biasnya besar. Kurang kerjaan? Memang. Ngapain bikin penelitian ngurusin urusan privat, bahkan yang paling privat. Apa relevansinya coba dengan perikehidupan bermasyarakat?

• Virginitas/ keperawanan bukanlah sesuatu yang sangat penting lagi pada saat ini.

Ya jelas tho. Oleh karena itu ngapain diurus? Apakah peneliti paham dengan sesungguhnya mengapa perempuan memiliki apa yang disebut selaput dara/hymen yang sering dijadikan tanda keperawanan? Paham posisi hymen dalam sejarah evolusi biologis bentuk-bentuk kehidupan? Dan mengapa dijadikan tanda bagi masyarakat patriarchal? Ini harus masuk dulu ke dalam latar belakang. Mengekalkan keperawanan sebagai pertanda moralitas atau kesetiaan perempuan sama saja dengan mengekalkan ketidakpahaman kita terhadap tubuh dan mengekalkan masyarakat patriarchal, di mana hanya perempuanlah yang harus perawan, sementara laki-laki sah-sah saja tidak perjaka.

• Paradigma budaya kita sudah bergeser jauh.

Paradigma budaya itu apa? Bergeser dari mana ke arah mana? Bangsa Indonesia dulu perawan semua sebelum menikah? Kata siapa? Terjadi peningkatan kegiatan sex (intercourse) pra nikah? Mana statistiknya? Lalu kalau keperawanan berubah, budaya sebelah mana yang berubah? Seni tari? Seni rupa? Budaya pergaulan?

Paradigma budaya, entah apa definisinya, mustinya adalah sesuatu yang cair. Budaya selalu bergerak. Kalau budaya mati, bangsanya pasti mati. Budaya yang tak bergeser lagi, misalnya budaya Pompeii, budaya Azteq, budaya Inca, budaya maya, budaya Mesir kuno. Kenapa? Karena bangsanya udah punah.

Ini adalah penarikan kesimpulan yang terlalu jauh. Yang diteliti selangkangan, kesimpulan yang diambil mencakup seluruh isi pemahaman/pengetahuan dan interaksi manusia (budaya) dalam radius 60 km dari selangkangan. Jelas sampel-nya tidak representatif.

• Rambu-rambu agama sudah ditinggalkan.

Masalah keperawanan bisa saja diarahkan pada kesimpulan begitu. Tapi bisa juga diambil kesimpulan bahwa agama kini semakin digunakan sebagai kedok. Artinya, hipokritas/kemunafikan meningkat. Mengapa? Karena penelitian lain menyebutkan bahwa persentase perempuan berjilbab meningkat. Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pesat di sektor bisnis pakaian wanita muslim. Kok pada saat yang sama seks pra-nikah meningkat?

PKS menggunakan jumlah penonton Ayat-Ayat Cinta sebagai pertanda bahwa gairah keagamaan (Islam) meningkat. Apakah ini menurunkan jumlah perempuan yang sudah tidak perawan?

Perda syairah diterapkan di mana-mana, tapi keperawanan merosot. Coba ada berapa rambu-rambu agama? Berapa banyak yang ngurus selangkangan? Belum lagi kalau bicara mengenai interpretasi atau tafsir, semakin repot lagi.

Kalau dengan meneliti selangkangan berani bilang "paradigma budaya sudah bergeser jauh" mengapa tidak sekalian mengambil kesimpulan, "agama sudah tidak diperlukan lagi karena tidak berguna dan hanya meningkatkan kemunafikan"?

• Bangsa kita sedang mengalami proses erosi moral yang luar biasa menakutkan. Dengan kualitas generasi muda ang bobrok seperti ini, dapat dibayangkan betapa mengerikannya masa depan kita 20 tahun ke depan.

Lha, ini yang saya bilang berangkat dari formula yang salah, tapi dipegang teguh oleh peneliti bahwa keperawanan=moralitas. Terlalu banyak bukti, baik di Indonesia maupun di negara manapun, kehilangan keperawanan akibat aktivitas seksual pra-nikah tidak mengakibatkan erosi moral. Dan generasi muda yang menganut paham sex bebas tidak juga membawa kengerian pada masa depan suatu bangsa atau negara 20 tahun kemudian.

Peneliti harus memberikan beberapa contoh kasus sebagai pembanding yang bisa menunjukkan bahwa tingkat keperawanan amat krusial bagi kemajuan atau sebaliknya bagi kehancuran suatu bangsa.

Kalau ingin membuktikan secara empiris, sebetulnya gampang. Semua gadis yang belum menikah diwajibkan mengenakan celana dalam bergembok dan kuncinya ada di KUA/kantor catatan sipil, dan hanya bisa diambil oleh suami setelah menikah. Tanpa perbaikan sarana kesehatan dan pendidikan, tanpa perbaikan di sektor ekonomi, tanpa perbaikan penegakan hukum dan HAM, tanpa perkembangan teknologi, dan tanpa pergeseran paradigma budaya, kita lihat saja apakah celana dalam bergembok berhasil menyelamatkan bangsa dari kehancuran, atau malah jadi sumber penyakit? Yang pasti keperawanan terjaga bukan? Apa itu yang dimaui oleh si peneliti?

Saran dan Rekomendasi:
• Harus sesegera mungkin dibuat Perda tentang pengelolaan pemukiman komersial.

Apa urusannya? Ini namanya memata-matai rakyat untuk urusan yang super tidak penting.

• Standar paradigmatik usia menikah harus mulai diturunkan untuk mengantisipasi kegiatan seks di luar nikah.

Lha ini. Ini juga berangkat dari paradigma yang salah. Saya tidak paham apa yang dimaksud dengan standar paradigmatik. Maksudnya siapa yang harus menurunkan standar usia menikah? Masyarakat? Orang-orang yang ingin menikah? Bagaimana caranya mengubah standar paradigmatik ini? Orang dianjurkan untuk menikah di usia muda? Supaya angka seks-pra menikah menurun? Beranikah peneliti bertanggung jawab bahwa policy ini tidak akan meningkatkan angka perceraian beberapa saat sesudahnya? Tidakkah akan terjadi, ketika usia menikah paradigmatik menurun, usia seks pra-nikah pun ikut menurun, secara paradigmatik? Bukankah demikian kelazimannya?

• Peraturan yang melarang seorang pelajar menikah harus direvisi.

Saya tidak tahu ada peraturan seperti ini, tapi saya setuju bahwa menikah adalah hak asasi setiap orang, dan jika seseorang sudah mencapai usia yang disepakati hukum, seharusnya ia berhak dan boleh menikah terlepas dari statusnya sebagai pelajar, pengangguran, ataupun 'ketuaan.'

Saya sepakat dengan ini, tetapi saya mempertanyakan kaitan peraturan ini dengan keperawanan. Tidakkah terpikir oleh peneliti bahwa ketika para pelajar di usia 18 tahun ramai-ramai menikah, apakah bisa dipastikan bahwa pengantin belum kehilangan keperawanannya di usia 16 atau 14 tahun. Sama dengan usul menurunkan usia menikah paradigmatik itu tadi. Bukankah justru ini dikhawatirkan bisa meningkatkan seks pra nikah di usia sangat-sangat-sangat dini?

• Peraturan, persyaratan dan biaya pernikahan yang ditetapkan oleh pemerintah harus diturunkan.

Saya sepakat di sini. Memang biaya apapun untuk pelayanan negara harus semurah mungkin. Bahkan sebisa mungkin gratis. Kita sudah bayar pajak. Tapi pertanyaannya, apa urusannya dengan keperawanan? Dengan seks pra nikah? Apa kalau murah dijamin orang akan memilih untuk segera menikah dan tidak memilih seks di luar nikah? Apakah penelitian ini memberikan korelasi signifikan antara tingkat kemampuan mahasiswi membayar/daya beli mahasiswi dengan keperawanannya? Yang lebih kaya lebih terjamin keperawanannya sebelum menikah dibanding yang miskin, yang tak mampu membayar biaya pernikahan yang diterapkan pemerintah?

Maksudnya bagaimana ini? Gadis-gadis yang mampu secara ekonomi lebih memilih untuk menikah karena mampu membayar biaya pernikahan yang diterapkan pemerintah daripada kehilangan keperawanan sebelum menikah dengan pacarnya?

Pernahkah peneliti membayangkan apa yang dilakukan dua orang pasangan ketika memutuskan untuk menikah? Persiapan yang mereka lakukan? Lamanya waktu untuk persiapan?

Dan pernah jugakah peneliti membayangkan bagaimana seorang gadis kehilangan keperawanannya dalam sebuah seks pra-nikah? "Oh, jangan sekarang mas, penetrasi vaginalnya, Mas. Kita daftar ke KUA dulu, kita bilang orang tua dulu, kamu dengan orangtuamu melamar dulu ke orang tua saya, rembug tuo, daftar ke KUA, undang Pak Kadi, ijab kabul, nah kalau sudah ijab kabul, barulah boleh mas penetrasi vaginal."

Bukankah penelitian ini bicara mengenai keperawanan? Mengenai penetrasi vaginal yang merusak selaput dara/hymen perempuan?

Lagi-lagi, bagaimana mungkin urusan selangkangan yang begini sempit (no pun intended) tiba-tiba menghasilkan kesimpulan yang begitu jauh masuk ke dalam sistem anggaran dan administrasi negara? Berapa ribu rupiah penurunan biaya nikah dapat meningkatkan berapa persen keperawanan mahasiswi? Coba, saya mau tanya itu. Kalau gratis? Semua mahasiswi dijamin perawan?

• Departemen Agama harus mengkaji untuk menginstitusikan lembaga nikah siri

Nah ini lagi, sama dengan di atas. Nikah siri, nikah kontrak, apa urusannya dengan keperawanan lagi? Apa masalah nikah ke KUA atau ke catatan sipil itu susah makanya para mahasiswi melepaskan keperawanannya sebelum menikah?

Pertanyaan besar sekali: Apa sih urusannya keperawanan (hilangnya hymen/selaput dara wanita) dengan pernikahan?

Apa sih hubugannya seks dengan pernikahan.

Bung, seks is seks, pernikahan is pernikahan. Ini coba lagi belajar evolusi biologi mahluk hidup, pelajari tentang sejarah seks atau sejarah kelamin. Lalu juga belajar sejarah sosial atau sejarah peradaban manusia. Bagaimana lembaga pernikahan/perkawinan diciptakan. Bagaimana lembaga agama dan juga negara kemudian ikut campur tangan dalam lembaga pernikahan dan perkawinan. Ini dipahami dulu.

Kesimpulan besarnya: Penelitian ini berangkat dari pemikiran (paradigma, kata penelitinya) yang sesat. Metoda penelitian tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sample dan responden diragukan validitasnya. Hasil penelitian diragukan validitasnya. Antara subjek penelitian dengan kesimpulan nggak nyambung, blas! Bahasa kerennya: Tidak ada koherensi. Penelitiannya apa, kesimpulannya entah ke mana.

Gitu ya. Bullshitlah si Iip Wijayanto ini. Cari sensasi aja. mBok ngurusi yang lebih penting, semisal tingkat stres mahasiswa dan mahasiswi di Jogjakarta. Kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan negara di Jogjakarta. Daya kritis mahasiswa dan mahasisiwi di Jogjakarta. Kemampuan menyampaikan dan menyerap ide dalam bahasa asing/daerah mahasiswa/i Jogja. Penelitian mengenai ideologi yang dianut mahasiswa/i jogjakarta, mengenai gerakan, dan perubahan arah gerakan mahasiswa/i sepanjang sejarah. Ada jutaan tema bisa dihasilkan dari mahasiswa dan mahasiswi Jogjakarta, kenapa yang dipilih yang paling sempit (no pun intended)? Kenapa malah ngurus selangkangan?

Bukankah 'paradigma' ini berangkat dari alasan yang sama mengapa orang menyewakan, memasarkan, dan menjual tabloid atau VCD porno? Karena ini mengasyikan, sensasional, dan dicari orang?




Read More »»