Minggu, 07 Maret 2010

KONTROVERSI UN

KONTROVERSI UN 2010
Thursday, 03 December 2009 06:33
Oleh: MELANI

Seluruh elemen masyarakat yang peduli terhadap masa depan pendidikan nasional kini tengah bergembira, sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) dalam Perkara No. 2596 K/Pdt/2008 tertanggal 14 September 2009 yang memutuskan, menolak permohonan kasasi pemerintah terkait dengan Ujian Nasional (UN).


Sejak digulirkannya Ujian Akhir Nasional (UAN) pada 2002 untuk tingkat SLTP dan SLTA yang kemudian pada 2005 berganti nama menjadi UN, banyak masalah yang kerap menimbulkan kontroversi. Masalah tersebut terjadi karena UN menyamaratakan soal ujian di seantero nusantara baik itu untuk siswa sekolah di kota besar maupun daerah terpencil yang fasilitas sekolahnya tentu saja jauh berbeda dengan kota besar sehingga dirasakan sangat tidak adil. Di samping itu, UN selalu ditengarai dengan kecurangan-kecurangan.

Oleh karena itu, kita patut mengacungkan jempol untuk Majelis Hakim MA yang memutuskan perkara terkait UN dengan menjunjung tinggi hak atas pendidikan bermutu bagi seluruh siswa Indonesia yang merupakan hak asasi manusia (HAM). Juga acungan jempol patut diberikan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutus perkara UN dengan benar dan adil. Semoga putusan yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat menyangkut UN tersebut dapat menjadi tonggak sejarah bagi seluruh hakim, baik di tingkat pertama maupun tingkat banding, serta kasasi untuk selalu menciptakan putusan yang bermoral, bermutu, dan berkeadilan jauh dari mafia hukum.
Apresiasi juga patut diberikan kepada para penggugat, yaitu masyarakat beserta kuasa hukumnya yang telah mengajukan gugatan perdata berupa citizen law suit terkait UN dengan mengorbankan waktu, biaya, tenaga, dan pikiran serta gigih memperjuangkan kebenaran dan keadilan demi perkembangan pendidikan nasional ke arah yang lebih baik.

Proses hukum di bumi pertiwi ini memang menyita waktu cukup lama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan perkara terkait UN 2006, tanggal 21 Mei 2007, yang pada intinya menyatakan para tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN dan majelis hakim memerintahkan kepada para tergugat agar meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh Indonesia, sebelum melaksanakan UN. Meski UN 2007 tidak lebih baik dari UN 2006, pemerintah tetap tidak mau menerima kekalahan dan mengajukan banding. Pada 6 Desember 2007, PT DKI Jakarta menjatuhkan vonis berupa penolakan terhadap permohonan banding pemerintah dan menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Pemerintah tetap tidak mau menerima putusan banding tersebut dan mengajukan kasasi ke MA serta tetap melaksanakan UN 2008 dan UN 2009. Pelaksanaan UN 2008 maupun 2009 pun diwarnai berita-berita miring tentang kecurangan-kecurangan.

Sama halnya dengan banding, kasasi adalah upaya hukum biasa, tetapi kasasi adalah upaya hukum biasa yang terakhir yang dapat diajukan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, putusan kasasi bersifat in kracht van gewijsde (mempunyai kekuatan hukum tetap).

Peninjauan kembali

Peninjauan kembali (PK) berasal dari hukum Belanda yang disebut dengan istilah request civil untuk perkara perdata dan herziening untuk perkara pidana. PK untuk perkara perdata diatur di dalam Pasal 66 ayat (2) UU No. 14/1985 jo. UU No. 5/2004 jo. UU No. 3/2009 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Dalam mengajukan PK, pemohon harus memiliki alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 67 UU MA, antara lain harus ada novum (bukti baru) atau adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. PK dapat diajukan dalam tenggang waktu yang tercantum dalam Pasal 69 UU MA, yaitu 180 hari setelah ditemukannya novum atau 180 hari sejak putusan pengadilan diberitahukan apabila alasan PK adalah kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Sesuai dengan khitah pendidikan yang harus selalu memberikan suri teladan, masyarakat tengah menanti kearifan Menteri Pendidikan Nasional untuk menghormati dan segera melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terkait UN secara legowo, dengan mencabut Peraturan Mendiknas No. 75 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan UN 2010, lalu menyerahkan kelulusan siswa tahun 2010 pada sekolah masing-masing sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta memperbaiki kondisi pendidikan di seluruh penjuru tanah air.

Sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU MA, terlepas dari diajukan atau tidaknya PK, eksekusi (pelaksanaan putusan pengadilan) dapat segera dilaksanakan, setelah pemberitahuan resmi putusan MA diterima oleh para pihak yang berperkara. Pembatalan pelaksanaan UN 2010 secara sukarela oleh Mendiknas atau bila perlu dengan dilakukan upaya paksa melalui permohonan eksekusi dari para penggugat, diharapkan dapat mengakhiri kontroversi UN 2010 yang telah membuat masyarakat terutama siswa, orang tua, dan guru kebingungan.

Penulis: advokat, dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, dan Pemerhati Pendidikan Nasional

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Kamis 03 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar